Pada
masa Mataram kedua (Mataram-Islam) seni pertunjukan tradisional Jawa tumbuh dan
berkembang dengan baik. Di antara tempat-tempat yang melahirkan karya seni ini
yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Hal ini dapat dimaklumi bahwa keduanya adalah
pewaris Mataram penerus ke-Jawa-an, baik adat-istiadat, budaya dan termasuk
juga keseniannya. Kesenian Jawa di dalamnya terdapat istilah tentang sinden
(bahasa Jawa: sindhèn), pesinden (bahasa Jawa: pesindhèn), tledek (bahasa Jawa:
tlèdhèk) atau waranggana. Keberadaan seniman dan seniwati demikian sudah lama
ada, disebutkan dalam prasasti dengan kata, “widu mangidung” atau biduan
menyanyi. Di samping itu juga ada kegiatan seni tari, dapat dilihat dalam
relief-relief candi di Jawa yang memperlihatkan gerakan tari (mangigel),
sehingga besar kemungkinan bahwa keberadaan sinden dalam karawitan Jawa
merupakan kelestarian seni pertunjukan itu sendiri yang sebelumnya sudah ada.
Pada
masa lalu sinden sangat dibutuhkan dalam masyarakat Jawa, baik perorangan
maupun masyarakat pedesaan secara umum. Dahulu profesi sebagai seorang sinden
sangat berarti, karena jumlahnya yang sedikit, tetapi masyarakat yang
membutuhkan banyak, terutama bersamaan dengan bulan baik. Pada masa sebelum
tahun 1900-an, profesi sinden atau pesinden pada umumnya merangkap sebagai
tledek. Pada tahun 1900-an, seorang sinden mendapat kesempatan bertugas nembang
(nyinden) saja, dan tidak menari. Pada masa Hamengku Buwono VIII seni budaya
tradisional Jawa mengalami perkembangan pesat. Sudah sejak lama di Keraton
Yogyakarta mempunyai abdi dalem pesinden atau sinden laki-laki dan perempuan.
Keraton
Yogyakarta mempunyai abdi dalem pesinden perempuan, namun tidak seperti
pesinden pada umumnya. Ia mempunyai tugas khusus yaitu hanya menyanyi atau
nyindeni untuk mengiringi Tari Bedhaya dan Srimpi di dalam
keraton. Di samping itu ia juga bertugas merias (maesi) pengantin putri.
Dahulu yang menjadi abdi dalem sinden perempuan di keraton ini rata-rata sampai
lama menjalankan tugasnya hingga usianya tua, sehingga kebanyakan sinden di
keraton sudah tua. Sinden keraton yang demikian jika mendapatkan tugas nyinden,
ia akan menjalaninya dengan aturan baku menurut tata cara yang ada sehingga
tidak bisa sembarangan misalnya tertawa, atau bersikap sembrono. Para sinden
yang merupakan abdi dalem tersebut mempunyai sebutan Nyai Lurah. Pada awal abad
ke 20 pesinden-tledek dianggap seperti abdi dalem layaknya, di bawah lurah
tledek yang jumlahnya ada dua, mempunyai pangkat Lurah Penajungan, di
bawah Kanayakan (Kawedanan) Gedhong Kiwa. Anggapan seperti abdi dalem,
karena ketika keraton mempunyai hajat, atau mengadakan pisowanan yang
menggunakan gamelan, maka para tledek ini juga mempunyai tugas nyindeni di
karawitan keraton
Pada
masa sekarang pementasan wayang kulit bila tidak disertai penampilan sinden,
terutama yang serba bisa maka akan ditinggalkan penontonnya. Seperti pendapat
para dalang masa sekarang, tontonan wayang mulai berkurang penggemarnya, jika
tidak menampilkan pesinden yang cantik dan pandai menyanyi. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa penampilan sinden merupakan daya tarik tersendiri yang
dapat menyedot penonton. Pertunjukan wayang tidak merugi jika banyak
penggemarnya, dan kesenian tradisional akan berlanjut.
Generasi
penerus sinden sekarang ini sudah sangat jarang, minat anak muda terhadap seni
suara sinden berkurang. Kurangnya rasa cinta terhadap kesenian dan kebudayaan
Jawa menjadi salah satu faktor berkurangnya generasi penerus sinden. Bahkan generasi
penerusnya berasal dari luar negeri atau orang asing yang menempuh studi di
indonesia seperti salah satu pesinden asal Jepang bernama Hiromi Kano. Di satu
sisi kita kagum melihat orang asing yang memiliki semangat melestarikan
kesenian Jawa tapi di sisi lain kita juga merasa miris karena semangat dan
atusias untuk melestarikan kesenian Jawa semakin lama berkurang.
Sumber:
Annisa Putri Mentari, Pesinden Maria Magdalena Rubinem dalam Upaya
Pelestarian Tradisi Karawitan di Yogyakarta, (Surakarta: Skripsi Jurusan
Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, 2015).
Samrotul
ilmi albiladiyah., “Sinden”, dalam Jantra Vol. II, No. 4, BPNB Yogyakarta. 2007
Sumber
lain:
http://www.harianjogja.com/baca/2013/09/17/kisah-hiromi-kano-sinden-asal-jepang-berjuang-mendapatkan-pengakuan-448189
(Diakses pada Sabtu, 2 April 2016).