Sabtu, 02 April 2016

PERKEMBANGAN DAN PENERUS SINDEN



Pada masa Mataram kedua (Mataram-Islam) seni pertunjukan tradisional Jawa tumbuh dan berkembang dengan baik. Di antara tempat-tempat yang melahirkan karya seni ini yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Hal ini dapat dimaklumi bahwa keduanya adalah pewaris Mataram penerus ke-Jawa-an, baik adat-istiadat, budaya dan termasuk juga keseniannya. Kesenian Jawa di dalamnya terdapat istilah tentang sinden (bahasa Jawa: sindhèn), pesinden (bahasa Jawa: pesindhèn), tledek (bahasa Jawa: tlèdhèk) atau waranggana. Keberadaan seniman dan seniwati demikian sudah lama ada, disebutkan dalam prasasti dengan kata, “widu mangidung” atau biduan menyanyi. Di samping itu juga ada kegiatan seni tari, dapat dilihat dalam relief-relief candi di Jawa yang memperlihatkan gerakan tari (mangigel), sehingga besar kemungkinan bahwa keberadaan sinden dalam karawitan Jawa merupakan kelestarian seni pertunjukan itu sendiri yang sebelumnya sudah ada.
Pada masa lalu sinden sangat dibutuhkan dalam masyarakat Jawa, baik perorangan maupun masyarakat pedesaan secara umum. Dahulu profesi sebagai seorang sinden sangat berarti, karena jumlahnya yang sedikit, tetapi masyarakat yang membutuhkan banyak, terutama bersamaan dengan bulan baik. Pada masa sebelum tahun 1900-an, profesi sinden atau pesinden pada umumnya merangkap sebagai tledek. Pada tahun 1900-an, seorang sinden mendapat kesempatan bertugas nembang (nyinden) saja, dan tidak menari. Pada masa Hamengku Buwono VIII seni budaya tradisional Jawa mengalami perkembangan pesat. Sudah sejak lama di Keraton Yogyakarta mempunyai abdi dalem pesinden atau sinden laki-laki dan perempuan.
Keraton Yogyakarta mempunyai abdi dalem pesinden perempuan, namun tidak seperti pesinden pada umumnya. Ia mempunyai tugas khusus yaitu hanya menyanyi atau nyindeni untuk mengiringi Tari Bedhaya dan Srimpi di dalam keraton. Di samping itu ia juga bertugas merias (maesi) pengantin putri. Dahulu yang menjadi abdi dalem sinden perempuan di keraton ini rata-rata sampai lama menjalankan tugasnya hingga usianya tua, sehingga kebanyakan sinden di keraton sudah tua. Sinden keraton yang demikian jika mendapatkan tugas nyinden, ia akan menjalaninya dengan aturan baku menurut tata cara yang ada sehingga tidak bisa sembarangan misalnya tertawa, atau bersikap sembrono. Para sinden yang merupakan abdi dalem tersebut mempunyai sebutan Nyai Lurah. Pada awal abad ke 20 pesinden-tledek dianggap seperti abdi dalem layaknya, di bawah lurah tledek yang jumlahnya ada dua, mempunyai pangkat Lurah Penajungan, di bawah Kanayakan (Kawedanan) Gedhong Kiwa. Anggapan seperti abdi dalem, karena ketika keraton mempunyai hajat, atau mengadakan pisowanan yang menggunakan gamelan, maka para tledek ini juga mempunyai tugas nyindeni di karawitan keraton
Pada masa sekarang pementasan wayang kulit bila tidak disertai penampilan sinden, terutama yang serba bisa maka akan ditinggalkan penontonnya. Seperti pendapat para dalang masa sekarang, tontonan wayang mulai berkurang penggemarnya, jika tidak menampilkan pesinden yang cantik dan pandai menyanyi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penampilan sinden merupakan daya tarik tersendiri yang dapat menyedot penonton. Pertunjukan wayang tidak merugi jika banyak penggemarnya, dan kesenian tradisional akan berlanjut.

                                                                               Sumber Gambar: Google
 
Generasi penerus sinden sekarang ini sudah sangat jarang, minat anak muda terhadap seni suara sinden berkurang. Kurangnya rasa cinta terhadap kesenian dan kebudayaan Jawa menjadi salah satu faktor berkurangnya generasi penerus sinden. Bahkan generasi penerusnya berasal dari luar negeri atau orang asing yang menempuh studi di indonesia seperti salah satu pesinden asal Jepang bernama Hiromi Kano. Di satu sisi kita kagum melihat orang asing yang memiliki semangat melestarikan kesenian Jawa tapi di sisi lain kita juga merasa miris karena semangat dan atusias untuk melestarikan kesenian Jawa semakin lama berkurang.


Sumber:
Annisa Putri Mentari, Pesinden Maria Magdalena Rubinem dalam Upaya Pelestarian Tradisi Karawitan di Yogyakarta, (Surakarta: Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, 2015).
Samrotul ilmi albiladiyah., “Sinden”, dalam Jantra Vol. II, No. 4,  BPNB Yogyakarta. 2007  

Sumber lain: