Minggu, 27 Maret 2016

SINDEN DAN PEREMPUAN JAWA

Pesinden atau sinden adalah sebutan bagi wanita yang bernyanyi mengiringi orkestra gamelan, yang umumnya sebagai penyanyi satu-satunya. Dalam kamus Bahasa Jawa, “sinden” adalah penyanyi wanita pada seni gamelan atau dalam pertunjukan wayang (golek, kulit), sedangkan “menyinden” adalah menyanyikan lagu pada seni karawitan atau pada pertunjukan wayang (golek, kulit). Pesinden yang baik harus mempunyai kemampuan komunikasi yang luas dan keahlian vokal yang baik serta kemampuan untuk menyanyikan tembang. Sinden adalah nembang mbarengi gamelan. Penjelasannya adalah vokal putri yang menyertai karawitan dilakukan oleh seorang pesinden, dahulu istilahnya taledhek, bahkan sekarang ada yang menyebut nama lain yaitu “swarawati” atau “waranggana”. Sinden dapat juga disebut waranggana “wara” yang berarti wanita, dan “anggana” yang berarti sendiri, dalam hal ini berarti wanita yang sendiri dalam seni karawitan maupun seni pertunjukan wayang, dan dalam Kamus Bahasa Kawi “waranggana” berarti bidadari.

Sumber Gambar: Google

Sinden mempunyai keindahan dalam seni swara yang dapat dinikmati bagi semua masyarakat umum yang mendengarkan dan melihat seni pertunjukan itu baik dalam seni karawitan maupun dalam pertunjukan wayang kulit. Beberapa sumber yang dapat menjelaskan kemunculan sinden di telusuri pada kebudayaan jawa berupa peninggalan candi Borobudur. Pada relief candi Borobudur sekitar 1800-an dan candi-candi Prambanan Hindu sekitar tahun 915 terdapat banyak adegan-adegan gadis-gadis menari, para musisi bermain seruling, sitar, silofon, kuningan dan bambu, tanduk, kerang, dan simbal serta beberapa orang penyanyi perempuan serta penonton yang menyaksikan. Sinden memiliki hubungan erat dengan kajian masalah yang diterima dan umum dalam masyarakat Jawa yaitu dalam kisah sejarah karawitan, sejarah wayang kulit, sejarah tari bedhaya Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta serta dalam sejarah kesenian tayub.
Dalam perkembangan kesenian jawa, berkurangnya eksistensi wanita dalam musik tradisi di Jawa dikarenakan dominasi laki-laki pada kesenian Jawa. Wanita menjadi simbol “feminimsitas” sehingga kehadirannya dianggap kurang layak. Adanya sinden seolah memberi penyegaran bagi denyut hidup wanita dalam musik tradisi terutama karawitan Jawa. Sinden sendiri berarti vokal tunggal yang (kebanyakan) dibawakan oleh wanita. Namun, agak berbeda pengertian sinden dengan vokalis dalam musik pada umumnya. Sinden bukanlah vokalis. Vokalis adalah orang yang bernyanyi dan diiringi dengan instrumen musik. Vokalis menjadi pusat perhatian karena tema dan pesan utama tertampung dalam balutan lirik-liriknya. Dengan demikian, vokalis menjadi acuan dalam sebuah pertunjukan musik. Sementara pengertian sinden tidak demikian. Kedudukan sinden setara dengan instrumen gamelan lain. Tidak mencoba diiringi maupun mengiringi. Singkatnya, sinden juga dianggap sebagai satu kesatuan instrumen gamelan. Agar terwujudnya capaian rasa gendhing yang ideal, maka semua instrumen harus saling bersinergi antara satu dengan yang lain, tak terkecuali sinden.

Sumber:
Annisa Putri Mentari, Pesinden Maria Magdalena Rubinem dalam Upaya Pelestarian Tradisi Karawitan di Yogyakarta, (Surakarta: Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, 2015).
Wojowaskito, Kamus Bahasa Kawi Indonesia, Jakarta: CV. Pengarang, 1983. 
James R. Brandon, Seni Pertunjukan Di Asia Tenggara, Yogyakarta: Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 1989. 


Minggu, 20 Maret 2016

PEWAYANGAN JAWA DAN TOLERANSI

Pulau Jawa sendiri memiliki beberapa kesenian budaya diantaranya adalah batik, tari serimpi, ketoprak, gamelan Jawa, dan wayang kulit. Dalam artinya yang paling sempit kata wayang (secara harafiah ‘bayangan’) sekarang menunjuk pada boneka bertangkai dari kulit yang dipahat pipih dari wayang kulit. Melalui pendekatan seni tradisional wayang, dimana wayang sebagai sistem etika dan metafisika lainnya, untuk menjelaskan alam semesta. Meski wayang tersebut didasarkan pada epik India mahabarata dan Ramayana, namun mitologi wayang Jawa menurutnya merupakan upaya untuk melacak secara puitis posisi eksistensial orang Jawa, hubungannya dengan tatanan alam kodrati dan adikodrati, dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Cerita pewayangan dalam konstruksi tradisi Jawa menurutnya telah terikat oleh nilai-nilai maupun karakteristik tradisional Jawa.
Dalam dasawarsa terdahulu para pengamat seringkali menyebut istilah “sinkretisme Jawa” dan relativisme Jawa”. Namun istilah tersebut, sejak pecahnya revolusi nasional Indonesia telah berubah dan lebih popular dengan sebutan “toleransi orang Jawa” sebagai watak mereka yang paling utama. Meluasnya istilah toleransi dalam masyarakat Jawa itu telah diakui oleh beberapa kalangan dan merupakan kesatuan pendapat di kalangan orang-orang asing yang menekuni pada hal ini, termasuk orang Jawa sendiri yang terpelajar. Hal ini disebabkan oleh  faktor psikologis, politis dan historis. 
Inilah sebabnya menurut Anderson watak sesungguhnya dari “toleransi” orang Jawa harus dicari secara universal, dan bukan hanya terjebak pada setiap bentuk simbolik dari penerimaan humanis orang-orang Jawa yang sangat abstrak terhadap sistem religius dan kepercayaan maupun etika yang saling bertentangan. Secara singkat bisa dikatakan bahwa dalam  semua agama  orang Jawa melihat adanya hal yang benar, tetapi tidak melihat adanya kebenaran yang mutlak. Dengan kata lain dia mencari dan menyetujui gagasan Kristen yang dirasa cocok dengan Jawa, selebihnya diabaikan sama sekali. Agama Kristen berlaku sejauh sesuai dengan kepercayaan Jawa. Demikian juga gambaran toleransi beragama orang-orang Jawa ketika dihadapkan pada agama Budha.
Sisi misterius dari keragaman kebudayaan Jawa selain dari makna  “toleransi” yang melekat pada masyarakatnya, di Jawa juga senantiasa dianggap memiliki mitologi religius yang hampir diakui secara universal menyebabkan adanya ketundukan emosional dan intelektual yang mendalam. Inilah yang ingin disebut oleh Anderson untuk lebih mudahnya dengan tradisi wayang dan pemancar utama tradsisi tersebut.

 
 



Sumber Gambar: Google
Bagi Anderson wayang telah merefleksikan keanekaragaman hidup manusia seperti yang dirasakan oleh orang Jawa. Anderson yang pernah meneliti kebudayaan wayang menjelaskan dari mitologi yang diciptakan berdasar dunia pewayangan dapat lahir sebuah cara, termasuk juga gaya, berkuasa yang mengarahkan masyarakatnya pada hidup ber(se)sama tanpa mengabaikan adanya perbedaan, pertentangan, bahkan pertikaian. Hal ini dimungkinkan karena wayang adalah salah satu tipe dari pengucapan atau pernyataan simbolis yang tidak membedakan secara dikotomis antara kiri dan kanan, tua dan muda, Pandawa dan Kurawa. Keduanya memiliki kontras yang begitu tajam, namun dalam wayang semua dilihat sebagai ”kebenaran”, tanpa perlu menjadi ”sang kebenaran”. Inilah arti sesungguhnya dari naskah-naskah kuno yang berkebudayaan wayang.



Sumber:
Benedict R. O’G Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, Penerbit Jejak, 2008.