Pesinden
atau sinden adalah sebutan bagi wanita yang bernyanyi mengiringi orkestra
gamelan, yang umumnya sebagai penyanyi satu-satunya. Dalam kamus Bahasa Jawa, “sinden” adalah penyanyi wanita pada seni gamelan atau dalam pertunjukan
wayang (golek, kulit), sedangkan “menyinden” adalah menyanyikan lagu pada seni karawitan atau pada pertunjukan
wayang (golek, kulit). Pesinden
yang baik harus mempunyai kemampuan komunikasi yang luas dan keahlian vokal
yang baik serta kemampuan untuk menyanyikan tembang. Sinden adalah nembang
mbarengi gamelan. Penjelasannya adalah vokal putri yang menyertai karawitan dilakukan oleh seorang
pesinden, dahulu istilahnya taledhek,
bahkan sekarang ada yang menyebut nama lain yaitu “swarawati” atau “waranggana”. Sinden dapat juga disebut waranggana “wara” yang berarti wanita, dan “anggana” yang berarti sendiri, dalam hal ini
berarti wanita yang sendiri dalam seni karawitan maupun seni pertunjukan
wayang, dan dalam Kamus Bahasa Kawi “waranggana”
berarti bidadari.


Sumber Gambar: Google
Sinden mempunyai keindahan dalam seni swara yang dapat dinikmati bagi semua masyarakat umum yang mendengarkan dan melihat seni pertunjukan itu baik dalam seni karawitan maupun dalam pertunjukan wayang kulit. Beberapa sumber yang dapat menjelaskan kemunculan sinden di telusuri pada kebudayaan jawa berupa peninggalan candi Borobudur. Pada relief candi Borobudur sekitar 1800-an dan candi-candi Prambanan Hindu sekitar tahun 915 terdapat banyak adegan-adegan gadis-gadis menari, para musisi bermain seruling, sitar, silofon, kuningan dan bambu, tanduk, kerang, dan simbal serta beberapa orang penyanyi perempuan serta penonton yang menyaksikan. Sinden memiliki hubungan erat dengan kajian masalah yang diterima dan umum dalam masyarakat Jawa yaitu dalam kisah sejarah karawitan, sejarah wayang kulit, sejarah tari bedhaya Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta serta dalam sejarah kesenian tayub.
Sinden mempunyai keindahan dalam seni swara yang dapat dinikmati bagi semua masyarakat umum yang mendengarkan dan melihat seni pertunjukan itu baik dalam seni karawitan maupun dalam pertunjukan wayang kulit. Beberapa sumber yang dapat menjelaskan kemunculan sinden di telusuri pada kebudayaan jawa berupa peninggalan candi Borobudur. Pada relief candi Borobudur sekitar 1800-an dan candi-candi Prambanan Hindu sekitar tahun 915 terdapat banyak adegan-adegan gadis-gadis menari, para musisi bermain seruling, sitar, silofon, kuningan dan bambu, tanduk, kerang, dan simbal serta beberapa orang penyanyi perempuan serta penonton yang menyaksikan. Sinden memiliki hubungan erat dengan kajian masalah yang diterima dan umum dalam masyarakat Jawa yaitu dalam kisah sejarah karawitan, sejarah wayang kulit, sejarah tari bedhaya Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta serta dalam sejarah kesenian tayub.
Dalam
perkembangan kesenian jawa, berkurangnya eksistensi wanita dalam musik tradisi
di Jawa dikarenakan dominasi laki-laki pada kesenian Jawa. Wanita menjadi
simbol “feminimsitas” sehingga kehadirannya dianggap kurang layak. Adanya
sinden seolah memberi penyegaran bagi denyut hidup wanita dalam musik tradisi
terutama karawitan Jawa. Sinden sendiri berarti vokal tunggal yang (kebanyakan)
dibawakan oleh wanita. Namun, agak berbeda pengertian sinden dengan vokalis
dalam musik pada umumnya. Sinden bukanlah vokalis. Vokalis adalah orang yang
bernyanyi dan diiringi dengan instrumen musik. Vokalis menjadi pusat perhatian
karena tema dan pesan utama tertampung dalam balutan lirik-liriknya. Dengan
demikian, vokalis menjadi acuan dalam sebuah pertunjukan musik. Sementara
pengertian sinden tidak demikian. Kedudukan sinden setara dengan instrumen
gamelan lain. Tidak mencoba diiringi maupun mengiringi. Singkatnya, sinden juga
dianggap sebagai satu kesatuan instrumen gamelan. Agar terwujudnya capaian rasa
gendhing yang ideal, maka semua instrumen harus saling bersinergi antara satu
dengan yang lain, tak terkecuali sinden.
Sumber:
Annisa Putri Mentari, Pesinden Maria Magdalena Rubinem dalam Upaya
Pelestarian Tradisi Karawitan di Yogyakarta, (Surakarta: Skripsi Jurusan
Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, 2015).
Wojowaskito,
Kamus Bahasa Kawi Indonesia, Jakarta:
CV. Pengarang, 1983.
James R. Brandon, Seni Pertunjukan
Di Asia Tenggara, Yogyakarta: Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar