Minggu, 20 Maret 2016

PEWAYANGAN JAWA DAN TOLERANSI

Pulau Jawa sendiri memiliki beberapa kesenian budaya diantaranya adalah batik, tari serimpi, ketoprak, gamelan Jawa, dan wayang kulit. Dalam artinya yang paling sempit kata wayang (secara harafiah ‘bayangan’) sekarang menunjuk pada boneka bertangkai dari kulit yang dipahat pipih dari wayang kulit. Melalui pendekatan seni tradisional wayang, dimana wayang sebagai sistem etika dan metafisika lainnya, untuk menjelaskan alam semesta. Meski wayang tersebut didasarkan pada epik India mahabarata dan Ramayana, namun mitologi wayang Jawa menurutnya merupakan upaya untuk melacak secara puitis posisi eksistensial orang Jawa, hubungannya dengan tatanan alam kodrati dan adikodrati, dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Cerita pewayangan dalam konstruksi tradisi Jawa menurutnya telah terikat oleh nilai-nilai maupun karakteristik tradisional Jawa.
Dalam dasawarsa terdahulu para pengamat seringkali menyebut istilah “sinkretisme Jawa” dan relativisme Jawa”. Namun istilah tersebut, sejak pecahnya revolusi nasional Indonesia telah berubah dan lebih popular dengan sebutan “toleransi orang Jawa” sebagai watak mereka yang paling utama. Meluasnya istilah toleransi dalam masyarakat Jawa itu telah diakui oleh beberapa kalangan dan merupakan kesatuan pendapat di kalangan orang-orang asing yang menekuni pada hal ini, termasuk orang Jawa sendiri yang terpelajar. Hal ini disebabkan oleh  faktor psikologis, politis dan historis. 
Inilah sebabnya menurut Anderson watak sesungguhnya dari “toleransi” orang Jawa harus dicari secara universal, dan bukan hanya terjebak pada setiap bentuk simbolik dari penerimaan humanis orang-orang Jawa yang sangat abstrak terhadap sistem religius dan kepercayaan maupun etika yang saling bertentangan. Secara singkat bisa dikatakan bahwa dalam  semua agama  orang Jawa melihat adanya hal yang benar, tetapi tidak melihat adanya kebenaran yang mutlak. Dengan kata lain dia mencari dan menyetujui gagasan Kristen yang dirasa cocok dengan Jawa, selebihnya diabaikan sama sekali. Agama Kristen berlaku sejauh sesuai dengan kepercayaan Jawa. Demikian juga gambaran toleransi beragama orang-orang Jawa ketika dihadapkan pada agama Budha.
Sisi misterius dari keragaman kebudayaan Jawa selain dari makna  “toleransi” yang melekat pada masyarakatnya, di Jawa juga senantiasa dianggap memiliki mitologi religius yang hampir diakui secara universal menyebabkan adanya ketundukan emosional dan intelektual yang mendalam. Inilah yang ingin disebut oleh Anderson untuk lebih mudahnya dengan tradisi wayang dan pemancar utama tradsisi tersebut.

 
 



Sumber Gambar: Google
Bagi Anderson wayang telah merefleksikan keanekaragaman hidup manusia seperti yang dirasakan oleh orang Jawa. Anderson yang pernah meneliti kebudayaan wayang menjelaskan dari mitologi yang diciptakan berdasar dunia pewayangan dapat lahir sebuah cara, termasuk juga gaya, berkuasa yang mengarahkan masyarakatnya pada hidup ber(se)sama tanpa mengabaikan adanya perbedaan, pertentangan, bahkan pertikaian. Hal ini dimungkinkan karena wayang adalah salah satu tipe dari pengucapan atau pernyataan simbolis yang tidak membedakan secara dikotomis antara kiri dan kanan, tua dan muda, Pandawa dan Kurawa. Keduanya memiliki kontras yang begitu tajam, namun dalam wayang semua dilihat sebagai ”kebenaran”, tanpa perlu menjadi ”sang kebenaran”. Inilah arti sesungguhnya dari naskah-naskah kuno yang berkebudayaan wayang.



Sumber:
Benedict R. O’G Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, Penerbit Jejak, 2008.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar