Pulau Jawa sendiri memiliki
beberapa kesenian budaya diantaranya adalah batik, tari serimpi, ketoprak,
gamelan Jawa, dan wayang kulit. Dalam artinya yang paling sempit kata
wayang (secara harafiah ‘bayangan’) sekarang menunjuk pada boneka bertangkai
dari kulit yang dipahat pipih dari wayang kulit. Melalui pendekatan seni tradisional wayang, dimana
wayang sebagai sistem etika dan metafisika lainnya, untuk menjelaskan alam
semesta. Meski wayang tersebut didasarkan pada epik India mahabarata dan
Ramayana, namun mitologi wayang Jawa menurutnya merupakan upaya untuk melacak
secara puitis posisi eksistensial orang Jawa, hubungannya dengan tatanan alam
kodrati dan adikodrati, dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri.
Cerita pewayangan dalam konstruksi tradisi Jawa menurutnya telah terikat oleh
nilai-nilai maupun karakteristik tradisional Jawa.
Dalam dasawarsa terdahulu para
pengamat seringkali menyebut istilah “sinkretisme Jawa” dan relativisme Jawa”.
Namun istilah tersebut, sejak pecahnya revolusi nasional Indonesia telah
berubah dan lebih popular dengan sebutan “toleransi orang Jawa” sebagai watak
mereka yang paling utama. Meluasnya istilah toleransi dalam masyarakat
Jawa itu telah diakui oleh beberapa kalangan dan merupakan kesatuan pendapat di
kalangan orang-orang asing yang menekuni pada hal ini, termasuk orang Jawa
sendiri yang terpelajar. Hal ini disebabkan oleh faktor psikologis,
politis dan historis.
Inilah
sebabnya menurut Anderson watak sesungguhnya dari “toleransi” orang Jawa harus
dicari secara universal, dan bukan hanya terjebak pada setiap bentuk simbolik
dari penerimaan humanis orang-orang Jawa yang sangat abstrak terhadap sistem
religius dan kepercayaan maupun etika yang saling bertentangan. Secara singkat bisa dikatakan bahwa dalam semua
agama orang Jawa melihat adanya hal yang benar, tetapi tidak melihat
adanya kebenaran yang mutlak. Dengan kata lain dia mencari dan menyetujui
gagasan Kristen yang dirasa cocok dengan Jawa, selebihnya diabaikan sama
sekali. Agama Kristen berlaku sejauh sesuai dengan kepercayaan Jawa. Demikian
juga gambaran toleransi beragama orang-orang Jawa ketika dihadapkan pada agama
Budha.
Sisi
misterius dari keragaman kebudayaan Jawa selain dari makna “toleransi”
yang melekat pada masyarakatnya, di Jawa juga senantiasa dianggap memiliki
mitologi religius yang hampir diakui secara universal menyebabkan adanya
ketundukan emosional dan intelektual yang mendalam. Inilah yang ingin disebut
oleh Anderson untuk lebih mudahnya dengan tradisi wayang dan pemancar utama
tradsisi tersebut.
Sumber Gambar: Google
Bagi
Anderson wayang telah merefleksikan keanekaragaman hidup manusia seperti yang
dirasakan oleh orang Jawa. Anderson yang
pernah meneliti kebudayaan wayang menjelaskan dari mitologi yang diciptakan
berdasar dunia pewayangan dapat lahir sebuah cara, termasuk juga gaya, berkuasa
yang mengarahkan masyarakatnya pada hidup ber(se)sama tanpa mengabaikan adanya
perbedaan, pertentangan, bahkan pertikaian. Hal ini dimungkinkan karena wayang
adalah salah satu tipe dari pengucapan atau pernyataan simbolis yang tidak
membedakan secara dikotomis antara kiri dan kanan, tua dan muda, Pandawa dan
Kurawa. Keduanya memiliki kontras yang begitu
tajam, namun dalam wayang semua dilihat sebagai ”kebenaran”, tanpa perlu
menjadi ”sang kebenaran”. Inilah arti sesungguhnya dari naskah-naskah kuno yang
berkebudayaan wayang.
Sumber:
Benedict R. O’G
Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, Penerbit Jejak,
2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar